Suarabirokrasi.com, Nasional,- Sidang putusan perkara Nomor 38/PUU-XIX/2021 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 di Mahkamah Konstitusi pada rabu, 31 Agustus 2022 mendatang, menjadi harapan bagi Pers Indonesia untuk mendapatkan kepastian hukum, terkait kedudukan Dewan Pers yang selama ini tidak lagi bertindak sebagai fasilitator sebagaimana amanat UU Pers.
Kegiatan Dewan Pers yang kini laksana lembaga regulator, juga menjadi pembahasan di dalam sidang uji materi Pasal 15 Ayat (2) Huruf f dan Ayat (5) UU Pers ini. Dan selaku Pemerintah, Presiden RI, Joko Widodo pada sidang sebelumnya, telah memberikan keterangan secara tertulis, menyatakan bahwa kedudukan dewan Pers sebatas fasilitator sebagaimana amanat undang undang, bukan regulator.
Putusan hakim Mahkamah Konstitusi diharapkan menjadi landasan bagi kemerdekaan Pers di tanah air yang selama ini terenggut kebebasannya untuk mengembangkan diri sesuai visi dan misi setiap insan Pers di Indonesia.
Uji materiil ini sendiri diajukan oleh para penggiat Pers yang selama ini banyak menerima keluhan dari insan Pers di tanah air dari tindakan Dewan Pers yang dinilai telah melenceng dari fungsinya.
Salah satunya Serikat Pers Republik Indonesia yang diketuai oleh Heintje G Mandagie. Hak kebebasan Pers Indonesia untuk menyusun peraturan-peraturan di bidang pers, dan meningkatkan kualitas Pers, dinilai telah dirampas secara sepihak dengan berbagai aturan yang dibuat oleh Dewan Pers.
“Hak konstitusional merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin pemenuhan dan perlindungannya dalam konstitusi negara.”terang Heintje G Mandagi pada rilis opininya.
Menurut Ketua Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI) ini. Jika Dewan Pers menerbitkan peraturan sebagai implementasi dari kata memfasilitasi berdasar hasil kesepakatan bersama atau konsensus organisasi-organisasi pers, maka pendapat itu melanggar UU Pers itu sendiri yang hanya memberi fungsi kepada Dewan Pers sebagai Fasilitator bukan Regulator.
“Pada prakteknya, Dewan Pers menerbitkan sederet peraturan, Dewan Pers beralih fungsi menjadi regulator Pers Indonesia. Padahal, fungsi dan kewenangan regulator itu ada pada organisasi-organisasi pers sesuai UU Pers.”terang Heintje.
Dirinya sangat menyayangkan, keberadaan organisasi-organisasi pers yang selama ini menjadi objekan Dewan Pers. Menurutnya, wartawan tidak terpisahkan dari organisasi pers, dan domain regulator pers seharusnya dikembalikan kepada wartawan.
“Saat ini domain regulator dilakukan oleh anggota Dewan Pers yang di dalamnya ada anggota yang bukan wartawan, dan mengatur – atur wartawan Indonesia.” katanya.
Ruang kepada tokoh masyarakat untuk menjadi anggota DP diberikan sesuai Undang undang. Terang Heintje, hanya untuk ikut berperan memfasilitasi wartawan di dalam menjalankan fungsinya dan meningkatkan ruang lingkup pers.
Di dalam undang- undang tentang Pers, keberadaan Dewan Pers hanya disisip pada Pasal 15 UU Pers, memberi fungsi memfasilitasi wartawan dan organisasi pers terjamin kemerdekaan persnya dalam menyusun regulasi dan meningkatkan kualitasnya.
“Jadi Dewan Pers kedudukannya merupakan lembaga independen dan berfungsi sebagai fasilitator bagi insan pers. Jika Dewan Pers menerbitkan aturan, maka lembaga ini bukan lagi fasilitator atau lembaga independen, melainkan lembaga regulator bagi insan pers tanah air.”jelas Heintje mengenai makna lembaga independen DP sebagai lembaga fasilitator.
Menanggapi “ocehan” ketua umum salah satu organisasi pers ‘Jadul’ di media, yang mengklaim pelaksanaan uji kompetensi wartawan yang sah adalah melalui Dewan Pers, dan di luar itu (DP-red) adalah abal-abal. Heintje yang juga selaku Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Pers Indonesia menerangkan bahwa lisensi atau ijin sertifikasi secara resmi hanya dikeluarkan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi.
“Sertifikat yang berlogo lambang negara, Garuda Pancasila versi LSP Pers Indonesia dan BNSP dituding abal-abal. Sementara UKW ilegal versi Dewan Pers oleh Lembaga Penguji ilegal diklaim sah karena dasar penafsiran Pasal 15 Ayat (2) huruf f UU Pers.”terang Heintje.
Menurut Heintje. Ketum Organisasi ‘Jadul’ itu tidak mengerti bahwa UU Pers bersifat lex specialis dari KUH Pidana, tetapi tidak pada UU Ketenagakerjaan.
“Lex Specialis UU Pers untuk melindungi karya jurnalistik wartawan dan media agar tidak dikriminalisasi. Namun bicara profesi harus tetap mengikuti aturan UU Ketenagakerjaan. KPK dan Polri aja tunduk pada peraturan BNSP dengan pendirian LSP KPK dan LSP Polri.”terangnya.
Terlebih, di dalam UU Pers tidak ada pasal yang mengatur secara eksplisit tentang pelaksanaan UKW bahkan SKW. Bunyi Pasal 15 Ayat (2) huruf f UU Pers : memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan.
Makanya, dalam uji materi di MK, Heintje selaku salah satu pemohon menilai, Pasal 15 ayat (2) huruf f harus dimaknai sesuai konteksnya, yakni “‘dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers oleh masing-masing organisasi pers’. Selama ini fungsi tersebut dimaknai sebagai kewenangannya Dewan Pers untuk menyusun dan menetapkan peraturan di bidang pers
Selanjutnya Pasal 15 ayat (5), frasa kata “Keputusan Presiden” itu tentunya hanya bersifat administratif, yakni sesuai permohonan atau usulan.’
Sambung Heintje menerangkan. Jika tidak dimaknai demikian, maka akan bertentangan dengan UUD 1945. Dan pengujian Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15 ayat (5) UU Pers, merupakan upaya hukum yang dijamin secara konstitusional, dalam rangka mengupayakan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara, termasuk wartawan.
“Sebagai penulis yang kebetulan juga menjadi pemohon pada uji materi ini, kami berharap MK bisa memutuskan secara profesional tanpa ada tekanan dari pihak manapun juga. Publik pers berharap keputusan MK dapat mengembalikan hak regulator kepada organisasi-organisasi pers dan wartawan.”harap Heintje dalam rilis opininya, Jumat (26/08/2022).
Secara terpisah. Pemimpin Redaksi www.suarabirokrasi.com Edy Manto juga berharap agar putusan hakim Mahkamah Konstitusi dapat membebaskan Pers Indonesia dari regulasi “abu-abu” yang dibuat oleh Dewan Pers selama ini yang berbenturan dengan peraturan-perundangan.
“Sebagaimana kita ketahui, Dewan Pers sertifikat kompeten yang dikeluarkan oleh DP menimbulkan dualisme legalitas dengan kewenangan sertifikasi oleh BNSP selaku Badan resmi yang ditunjuk negara. Dan perusahaan pers sebagai Badan hukum, seharusnya patuh terhadap aturan negara. Tetapi efek dari peraturan Dewan Pers, menyebabkan banyak insan pers yang akhirnya tunduk pada aturan organisasi dari pada aturan yang dibuat lembaga resmi negara ini,”jelas Edy Manto, Minggu (28/08), di Tanjungpinang.
Menurut Edy. Kompetensi yang tidak memiliki standar, dan jaminan yang sah, akan berdampak terhadap citra negara kepada publik. Di mana, salah satu tujuan negara menunjuk Badan resmi yang mengatur tentang sertifikasi kompetensi adalah untuk menjawab tantangan publik, bahwa Kita memiliki sumber daya manusia yang handal dan kompeten sebagai salah satu kekayaan negara, yang teregistrasi sesuai nomor sertifikat kompetensinya masuk dalam catatan arsip negara.
Tidak hanya itu. DP juga telah cukup lama mempersulit perusahaan pers yang akan mendàftarkan diri ke Dewan Pers media, dengan mensyaratkan untuk dapat diverifikasi administrasi, perusahaan tersebut minimal harus ada wartawan yang memiliki sertifikat kompetensi yang dikeluarkan oleh Dewan Pers.
“Kita taat mendukung UU Pers dan mendukung tugas Dewan Pers tentang pendataan media, tetapi malah dipersulit dengan syarat Kartu UkW. Sebagai Badan hukum Pers, kami tidak bisa mendukung UKW Dewan Pers karena tidak jelas standar dan jaminannya, terlebih mengikuti uji kompetensi tanpa SKKNI dan di luar BNSP, sama saja mendukung kegiatan yang tidak sesuai aturan kompentensi yang ditetapkan oleh negara”tandas wartawan dari Provinsi Kepulauan Riau ini. (Red)
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.