Home / Nasional / Kontrasnya Kolusi di Lumbung APBD Kepri

Kontrasnya Kolusi di Lumbung APBD Kepri

Opini : Edy Manto (Pemimpin Redaksi www.suarabirokrasi.com)

Keberhasilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberantas mafia-mafia anggaran yang ‘merampok’ uang dan kepentingan rakyat dan negara, berhasil menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat yang kian pupus kendati negara ini memiliki lembaga yudikatif untuk pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Jejak digital mencatat kinerja KPK dalam memberantas mafia APBD di beberapa daerah di Indonesia. Memberantas jaringan Kolusi antara legislatif dan eksekutif dan tidak terjangkau oleh lembaga yudikatif di daerah.

Di Kota Malang, Lembaga anti rasuah berhasil memberantas mafia APBD dan menetapkan belasan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Malang sebagai tersangka korupsi berjamaah.

Di Sumatera Utara, penyidik dari gedung merah putih menyingkap Kolusi antara eksekutif dan legislatif dan menetapkan 38 orang terdiri dari anggota dan mantan anggota DPRD Sumatra Utara sebagai tersangka.

Kasus ini mendapat perhatian publik. Sebagaimana ditayang media www.bbc.com, berita berjudul Korupsi massal di Sumut: ‘kongkalikong’ dan ‘pasar gelap kekuasaan’

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng, memandang dua kasus korupsi berjamaah ini menunjukkan model hubungan kolusi antara pemimpin daerah dan anggota dewannya, dengan hubungan yang berlangsung adem ayem, tapi sesungguhnya seperti ‘pasar gelap kekuasaan’.

“Mereka berkongkalikong, bahkan bersengkongkol untuk merampok uang negara tapi dengan cara-cara yang tidak terlihat di permukaan,” ujar Robert kepada BBC Indonesia.

Dia mencontohkan, mantan Gubernur Sumatra Utara Gatot Pujo Nugroho yang dinilai berhasil meredam dinamika politik di daerahnya.

“Namun bukan karena kemampuan dia untuk meyakinkan DPRD dengan program berkualitas, melainkan dengan menyuap atau menyogok anggota DPR.”

“Sama seperti yang terjadi di kota Malang, sudah disahkan APBD tapi sudah dialokasikan proyek-proyek yang nantinya ketika APBD dijalankan anggota APBD bisa mendapat jatah proyek itu,” imbuh Robert.

Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zainal Arifin Mochtar, berpendapat peluang kolusi itu terjadi sebaga imbas dari otonomi daerah, dengan banyaknya kewenangan yang kemudian disematkan kepada kepala daerah dan DPRD, termasuk soal anggaran.

“Alih-alih membahas bersama demi kemakmuran rakyat kadang-kadang mereka membahas bersama dalam rangka merumuskan siapa yang akan mendapatkan proyek, karena kemudian mereka juga sudah menjanjikan sesuatu ketika pilkada,” ujar Zainal.

BBC Indonesia juga mengungkap pendapat Mendagri terkait kasus ini. Dalam pemberitaan itu dikatakan bahwa Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meminta para kepala daerah untuk belajar dari kasus korupsi yang menjerat puluhan anggota dan mantan anggota DPRD Sumatra Utara.

Dia meminta para kepala daerah untuk tidak main-main ketika menyusun anggaran dengan DPRD.

“Termasuk dewan harus mengikuti aturan dan mekanisme dalam merencanakan dan memastikan sebuah program daerah yang dianggarkan lewat APBD,” ujar Tjahjo.

Keterlibatan Oknum Legislatif Pada Anggaran Jasa Publikasi Biro Humas

Berkaca dari kasus yang berhasil diungkap KPK. Lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif di Indonesia termasuk di Provinsi Kepulauan Riau, mestinya menjadi acuan bagi legislatif dan eksekutif untuk menghindari kolusi dan mengikuti aturan dalam pembahasan dan pengesahan APBD. Bagi yudikatif, diharapkan lebih sensitif terhadap segala bentuk informasi yang bertentangan dengan aturan dalam pembahasan, pengesahan dan pengelolaan APBD.

Namun hingga kini, lembaga yudikatif belum berhasil menyingkap praktek kolusi dalam pembahasan APBD Kepri. Meski terlihat kontras dan menjadi atensi masyarakat.

Seperti dilansir media online www.suluhkepri.com pada berita yang ditayang 10/01/2019 berjudul “Kemana Raibnya Dana Publikasi di Biro Humas Pemprov Kepri”. LSM Forkorindo Kepri melaporkan dugaan penyimpangan APBD di Biro Humas kepada Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau.

Ketua LSM Forkorindo Kepri Parlin Simanungkalit membenarkan laporan tersebut.

“Ya benar, laporan kami telah diterima pihak Kejati Kepri pada 3 Desember 2018 lalu. Kami tengah menunggu tindaklanjutnya,” kata Parlin kepada suluhkepri.com, Kamis (10/1) di Tanjungpinang (kutipan berita suluhkepri.com)

Melewati tahun berjalan 2019, 2020 hingga 2021, permasalahan anggaran publikasi di Biro Humas tidak kunjung mendapat sentuhan hukum dari Kejaksaan dan beredar isu adanya keterkaitan oknum-oknum legislatif “bermain” anggaran publikasi di Biro Humas.

Setiap tahun, pada Perda APBD 2019, 2020 dan 2021 APBD tahun 2021 yang disahkan. Anggaran di Biro Humas, khususnya kegiatan belanja jasa publikasi dialokasikan tahun 2019 sebesar Rp.11 miliar, tahun 2020 sebesar Rp.

21 miliar dan tahun 2021 sebesar Rp.29 miliar.  Bila dibandingkan dengan pagu indikatif anggaran program kegiatan Biro Humas Protokol yang ditetapkan pada Perda RPJMD Perubahan 2016-2021, anggaran yang di sahkan setiap tahunnya melonjak hingga 400%.

Besarnya anggaran belanja jasa publikasi atau Jasa iklan di Biro Humas yang disahkan oleh eksekutif dan legislatif, dan kontras juga diungkap kepada publik, terkait jatah oknum dewan, berbentuk dana pokir atau aspirasi dan oknum dewan memiliki kuasa bermain proyek kegiatan belanja jasa publikasi dengan menunjuk penyedia Jasa tertentu.

Media online www.japos.co mengungkap adanya anggaran pokir dewan dalam pemberitaan berjudul “Terkait publikasi, Gubernur pastikan anggaran tersedia di Humas Protokol” yang ditayang 5 Mei 2021.

Japos.co memberikan bahwa salah satu staf Biro Humas Protokol dan Penghubung Setda Kepri kepada japos.co baru-baru ini mengatakan, jika yang diakomodir kehumasan masih berkas publikasi Dana Program Pembangunan Daerah Pemilihan atau Aspirasi Anggota DPRD, melalui Program Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) dewan. Sementara yang lainnya belum ada arahan dari pimpinan.

Terkait Anggaran pokir Dewan pada anggaran kegiatan belanja jasa iklan di Biro Humas Tahun 2021 diungkap juga kepada publik oleh media online www.suarabirokrasi.com pada pemberitaan berjudul Gubernur Diminta Berantas “Permainan Monopoli” Anggaran Jasa Iklan di Biro Humas yang ditayangkan 1 Desember 2021.

Pada pemberitaan dikatakan. Kepala Biro Humas Kepri, Hasan dalam sebuah perbincangan saat wartawan media ini bersama pengurus Cindai Kepri sedang berada di ruang tunggu kantor Gubernur Kepri, lantai 3 untuk menjumpai Gubernur.

“Saya bilang dengan ****(oknum dewan kuning-red), Bapak kalau letak anggaran jangan bapak juga tunjuk perusahaannya, biarlah saya yang atur.”cerita Hasan.

Dirinya (sebagai Plt.Kabiro Humas-red) mengaku tidak bisa mengganggu anggaran milk para oknum dewan, dan mengaku saat itu anggaran kegiatan belanja jasa publikasi habis.

“Itukan dana alo, saya mana bisa ganggu,”kata Hasan saat disinggung mengenai besarnya nominal anggaran publikasi di humas. (kutipan berita suarabirokrasi.com).

Dilema Pemberantasan Oknum “Pemain Anggaran”

Kejati Kepri termasuk lembaga yudikatif penerima anggaran bantuan dari APBD Kepri yang disahkan pejabat eksekutif dan legislatif, dan tentunya harus mempertimbangkan kemampuan keuangan provinsi Kepulauan Riau yang sangat rendah berdasarkan penilaian Menteri Keuangan.

Sehingga menjadi tanda tanya kepada Kejaksaan Agung RI persentase kemungkinan pencegahan dan pemberantasan Korupsi di Kepulauan Riau terwujud sesuai integritas dan bukan sekedar “basa-basi”.

Ataukah hanya KPK yang mampu memberantas para oknum-oknum di kursi legislatif dan eksekutif yang menyelewengkan uang rakyat untuk kegiatan tidak bermanfaat.

Dapat diperhitungkan seberapa besar pemerintah dan negara dapat mencapai tujuannya bila anggaran pencitraan kepala daerah yang bernilai belasan hingga puluhan miliar difokuskan untuk mendanai urusan pendidikan, atau urusan ekonomi kecil.

Siapakah yang dapat menghentikan berlangsungnya pemborosan anggaran, bila bukan para pemerhati kebijakan, cendekiawan, akademisi sebagai unsur masyarakat Kepri sendiri membangun demokrasi yang berkelanjutan. Sehingga demokrasi tidak hanya ada saat Pilkada dan hilang setelahnya. ‘Karena Demokrasi adalah Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat.”

Tinggalkan Balasan