Home / Nasional / Syarat Penyedia Jasa Publikasi Sarat Maladministrasi

Syarat Penyedia Jasa Publikasi Sarat Maladministrasi

Ketua Umum DPP Serikat Pers Republik Indonesia Heince Mendagie menunjukkan SK sebagai lembaga penguji (UKW) resmi terdaftar di Kemenaker (kanan) dan surat dari BPK terkait sanggahan atas isu yamg mewajibkan Pemda menggunakan media terverifikasi di DP

Suarabirokrasi.com,-Jakarta,- Penambahan syarat “terdaftar di Dewan Pers” saat tahapan proses seleksi penyedia pelaksanaan kegiatan belanja jasa publikasi maupun iklan, yang diberlakukan di beberapa pemerintah daerah (Pemda) disinyalir merupakan menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.16 Tahun 2018 beserta perubahannya, tentang Pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Penambahan syarat yang dinilai mengada-ada itu menyebabkan ratusan perusahaan media berbadan hukum sah/resmi yang tidak mendaftarkan perusahaannya sebagai anggota di Dewan Pers terganjal untuk ikut serta di dalam seleksi dan pelaksanaan kegiatan penyediaan jasa publikasi yang dibiayai oleh APBD.

Pemberlakuan ketentuan tersebut (terverifikasi di Dewan Pers) oleh Pemda yang mengacu pada Peraturan Dewan Pers, dinilai merupakan sebagai tindakan yang bertentangan dengan Undang-Undang Administrasi Pemerintah dan dapat dikatakan sebagai praktek Maladministrasi di dalam proses pengadaan kegiatan belanja jasa publikasi.

Hal itu diungkapkan oleh Ketua Umum Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI) Heintje Mandagi melalui Pers Rilis dalam menanggapi kebijakan pemerintah daerah yang menghambat perusahaan media resmi yang tidak melakukan verifikasi di Dewan Pers, untuk ikut serta di dalam kegiatan jasa publikasi yang dananya bersumbet pada APBD.

Heintje (Hence-baca) mengungkapkan. penggunaan atau pencantuman Peraturan Dewan Pers Nomor :03/Peraturan-DP/X/2019 tentang Standar Perusahaan Pers oleh Pemda sebagai acuan untuk melakukan seleksi perusahaan media yang dapat ikut dalam kegiatan yang didanai APBD untuk kegiatan pengadaan barang/jasa publikasi, iklan reklame pada Media Cetak, Elektronik, dan Media Baru (Media Online), dan atau penyusunan Peraturan Kepala Daerah adalah merupakan kesalahan fatal yang harus segera dihentikan.

Lanjutnya. Karena hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Adminisrasi Pemerintahan dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

“UU Administrasi Pemerintahan Pasal 5 huruf a secara tegas menyebutkan, Penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan berdasarkan asas legalitas. Dan pada Pasal 9 Ayat (3) disebutkan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan wajib mencantumkan atau menunjukkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan dan dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.” ungkap Hence Mandagi melalui siaran pers yang dikirim ke redaksi pada Rabu, (17/3/2021),

Hence menegaskan bahwa setiap keputusan atau kebijakan pemerintah yang menggunakan atau mencantumkan Peraturan Dewan Pers sebagai salah satu dasar keputusan atau kebijakan pemerintah akan menjadi cacat hukum karena Peraturan Dewan Pers bukan merupakan Peraturan Perundang-Undangan karena tidak masuk dalam Lembaran Negara.

Hence menyebutkan sejumlah ketentuan yang dinilai menyimpang, terkait Penanggungjawab redaksi atau pemimpin redaksi wajib memiliki kompetensi wartawan utama; dan Perusahaan Pers menyertakan wartawannya untuk melakukan uji kompetensi. Sertifikasi kompetensi yang diberlakukan Dewan Pers selama ini tidak memiliki standar kompetensi sesuai yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.

“Sangat jelas (Standar Kompetensi DP-red) bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279), Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional, dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2016 tentang Sistem Standardisasi Kompetensi Kerja Nasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 257).terangnya.

“Bagaimana mungkin pemerintah mewajibkan penanggungjawab media harus memiliki kompetensi wartawan utama yang diperoleh dari kegiatan illegal dan menyalahi peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam menyusun peraturan dan kebijakan. Jika kebijakan atau peratiran tersebut dipaksakan maka justeru akan menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari,” pungkasnya.

Atas dasar itu juga, Mandagi mengungkapkan, pihaknya sudah mengeluarkan surat yang ditujukan kepada para Gubernur, Walikota, dan Bupati se Indonesia sebagai saran dan masukan agar setiap Kepala Daerah menghindari penggunaan atau pencantuman Peraturan Dewan Pers Tentang Standar Perusahaan Pers sebagai dasar dalam dalam pengelolaan APBD untuk kegiatan pengadaan barang/jasa publikasi, iklan reklame pada Media Cetak, Elektronik, dan Media Baru (Media Online).

Surat ini bisa digunakan oleh seluruh media yang merasa didiskriminasi oleh kebijakan pemerintah daerah terkait kerja sama media yang mewajibkan verifikasi media DP dan pimred media harus memiliki kompetensi wartawan utama.

“Silahkan surat dari DPP SPRI diteruskan atau diserahkan ke pemerintah daerah yang menerapkan kebijakan kerja sama media menggunakan peraturan DP, agar nantinya tidak ada lagi kebijakan Pemerintah Daerah melanggar Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang merugikan media,” imbuhnya.(Edy)

Tinggalkan Balasan