Aceh Tamiang, SB – Terkait hutan mangrove yang sudah rusak parah akibat pengrusakan oleh penguasaan dan alih fungsi lahan, para Datok Penghulu (Kades-Red) dan tokoh masyarakat di Kecamatan Banda Mulia, diantaranya Desa Tanjung Keramat, Matang Seping dan Alur Nunang yang sebahagian besar wilayahnya merupakan kawasan mangrove, meminta Pemkab Aceh Tamiang agar serius mengatasinya.
Hal tersebut diungkapkan dalam diskusi multi pihak yang bertajuk “Usaha Pemanfaatan dan Perlindungan Mangrove Secara Berkelanjutan” diselenggarakan oleh LSM Kawasan Ekosistem Pantai dan Pulau Sumatera (Kempra) Aceh Tamiang dan didukung oleh WWF (World Wide Fund for Nature) Indonesia 14 Juli 2021 lalu di Aula Bappeda Aceh Tamiang.
Kepada suarabirokrasi.com, Minggu (18/7/21) Direktur Eksekutif Kempra, Izuddin Idris, mengatakan bahwa dalam pertemuan diskusi tersebut hadir para pemangku kepentingan dari beberapa desa pesisir, KPH 3, serta beberapa kepala dinas di jajaran pemerintah kabupaten Aceh Tamiang, diantaranya kepala Bappeda, Kadis LH dan kadis Perikanan.
“Pertemuan tersebut melahirkan beberapa rekomendasi penting terkait langkah tindak lanjut yang harus diambil pemerintah untuk menyelamatkan hutan mangrove Aceh Tamiang yang masih tersisa. Kami mengharapkan adanya aksi nyata serta dukungan yang lebih konkrit dari pemerintah kepada pemangku kepentingan dan kelompok masyarakat di tingkat desa yang secara swadaya melakukan upaya perlindungan serta penyelamatan mangrove di wilayahnya,” jelas Izuddin.
Izuddin mengungkapkan, saat ini kondisi kawasan mangrove di wilayah kabupaten Aceh Tamiang memang sangat mengenaskan. Dari hampir 23.000 hektar wilayah mangrove yang dimiliki kabupaten ini, lebih dari 75 persen dalam kondisi rusak akibat penguasaan dan alih fungsi lahan yang tidak terkendali, serta penebangan bakau untuk dijadikan bahan baku arang Saat ini.
Kondisi kerusakan mangrove Aceh Tamiang memasuki fase paling kritis sepanjang dekade, dan akan terus berlanjut apabila tidak ada kesungguhan dan keseriusan pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya untuk menghentikannya.
“Selama ini, pemerintah atau pemangku kepentingan di tingkat kabupaten tidak banyak berbuat dan seperti enggan mengambil langkah kebijakan untuk mengurangi atau menghentikan laju pengrusakan hutan mangrove yang terjadi di kawasan pesisir, dengan berlindung pada alasan klasik bahwa kewenangan pengelolaan dan pengawasan kawasan hutan dan wilayah mangrove berada di pemerintahan propinsi dan di tingkat pusat,” ungkapnya.
Menurut Izuddin, itu alasan yang terlalu dibuat-buat, kewenangan pengelolaan dan pengawasan wilayah hutan boleh saja ada di tangan pemerintah provinsi atau pemerintah pusat, tapi secara geografis dan demografis lahan yang ada pada wilayah hutan tersebut tetap milik Aceh Tamiang,
“Pemerintah daerah punya hak untuk mengatur peruntukannya sepanjang tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Artinya, jika pemerintah Aceh Tamiang serius berupaya untuk menghentikan laju kerusakan mangrove di wilayahnya, dapat dilakukan dengan menerbitkan aturan yang dapat membatasi laju kerusakan mangrove, misalnya dengan menerbitkan aturan moratorium penguasaan dan alih fungsi lahan mangrove atau larangan mengoperasikan dapur arang,” imbuhnya.
Izuddin menjelaskan, contoh lain yang dapat dilakukan adalah melalui pemberian insentif, reward atau memberikan perioritas pembangunan kepada desa yang berkomitmen dan telah melakukan tindakan nyata dalam melakukan upaya perlindungan dan pemanfaatan kawasan mangrove secara berkelanjutan. Namun realita hari ini, komitment pemerintah Aceh Tamiang terhadap perlindungan dan penyelamatan hutan mangrove di kawasan pesisir masih sebatas narasi akademis yang tertuang dalam dokumen RPJM, KLHS dan RTRW, sementara langkah tindak lanjutnya belum tampak secara nyata.
Sejak setahun terakhir, beberapa tokoh masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya di kawasan pesisir Aceh Tamiang secara sukarela telah berinisiatif untuk melakukan upaya untuk melindungi dan menyelamatkan kawasan mangrove yang tersisa di masing-masing desa dengan meggagas pola kerja sama antara kelompok masyarakat dengan KPH 3 untuk melakukan kegiatan pemanfaatan kawasan mangrove di wilayahnya secara berkelanjutan.
“Mereka juga secara aktif menjaga dan melakukan pengawasan terhadap aktifitas yang berlangsung di dalam kawasan mangrove, menerbitkan peraturan desa (Qanun Kampung) serta menerapkan sanksi bagi pihak yang melanggar. Inisiatif yang luar biasa ini sudah sepantasnya mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah di tingkat kabupaten, dengan menerbitkan regulasi yang dibutuhkan serta memberikan dukungan dan perlindungan terhadap apa yang mereka lakukan,” tandasnya. (Jas.Ms)
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.