Suarabirokrasi.com, Tanjungpinang,- Lemahnya bukti pendukung yang digunakan untuk menjerat Aloysius Dhango S.Fil sebagai pihak yang dianggap melakukan sebuah perbuatan jahat menjadi perhatian Patrick Boli yang selama ini konsen mengikuti proses hukum yang berlangsung.
Di dalam perkara ini justru Bung Boli (sapaan akrab-red) melihat bahwa perbuatan terdakwa Aloysius Dhango adalah bagian upayanya untuk tetap menjaga dan memperjuangkan hak kaum tertindas yang terancam direbut oleh para Mafia tanah yang acapkali memasang patok tanpa aturan dan melibatkan aparatur RT dan RW setempat ataupun menunjukkan legalitas sebagai bagian dari kewajiban setiap orang untuk memasang tanda batas suatu wilayah.
Dari perjalanan sidang perkara ini di pengadilan, apa yang bisa disampaikan sebagai pengetahuan yang dapat mengedukasi publik?
Ada asas equality before the law, kata Boli. Di dalam perkara ini dirinya melihat keteguhan hati Aloysius dan sangat siap menunggu putusan atas perkara ini di pengadilan negeri esok hari.
Dari sisi lain, Bung Boli mengapresiasi setiap tahapan proses sidang di Pengadilan Negeri kelas 1 Tanjungpinang. Menurutnya pengadilan menjadi tempat paling nyaman untuk menakar nilai kebenaran dan keadilan.
“Banyak di luar sana, hukum bisa jadi alat atau diperalat untuk kepentingan baik oligarki atau juga kekuatan transaksional.”kata Bung Boli.
Namun untuk perkara yang melibatkan Aloysius Dhango, Boli meyakini hakim memiliki penilaian tersendiri untuk menyatakan nilai keadilan kepada tersangka dan kepada publik. Oleh itu dirinya tidak ingin berpendapat melewati batas ranah kewenangan jakim, atau mengkritisi dakwaan, atau materi penuntutan. Sehingga dirinya hanya bisa mengikuti pandangan masyarakat atau publik.
“Mari kita bicara sebagai masyarakat yang rasanya juga tidak salah kalau kita bicara tentang pasal, sebab juga ada nasihat orang tua: “Jangan cari pasal, nanti kena pasal, hahaha, “kata Boli sambil bercanda.
Sejak proses awal dilakukannya pemeriksaan di unit 1 Pidum Satreskrim Polresta Tanjungpinang, pelanggaran KUHPidana yang dituduhkan terhadap Bung Aloysius dan Herman Yosep adalah Pasal 170 dan pasal 406 KUHPidana tentang pengrusakan. Sehingga dapat dikatakan tersangka dianggap melakukan berniat dan melakukan perbuatan jahat yang berdampak pada rusaknya patok tanah milik orang atau pelapor.
Namun perlu kita perhatikan, apabila di dalam perkara ini tidak ada bukti yang cukup bahwa kedua tersangka tidak memiliki niat jahat, maka proses hukum menjadi semacam ruang hampa yang dikontruksikan untuk seakan-akan perbuatan ini memenuhi unsur delik. Di satu sisi kekuatan pembuktian tentang hak seperti terabaikan, maka pertanyaannya apakah pelapor sudah dipastikan atau diyakini memiliki legitimasi atas objek perkara ini ?
Pencabutan Patok tanah oleh Aloysius Dhango tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan melanggar hukum, sebab pihak pelapor tidak memiliki legalitas untuk memasang patok di tanah yang dijaga oleh tersangka. Selain itu, tidak ada perjanjian secara lisan ataupun tulisan yang disepakati oleh tersangka untuk menjaga patok yang ditinggalkan terbengkalai oleh saksi atau orang suruhan pelapor.
Apa yang bung miliki sebagai informasi pada publik terkait persoalan ini ?
Waduhhh… jangan mencabar gitulah bang Bro..
Oke, sedikit saya sampaikan, bahwa dari informasi yang kita cermati dalam perjalanan perkara ini, pelapor seperti memiliki dokumen surat yaitu surat yang diterbitkan oleh Lurah Air Raja, kecamatan Tanjungpinang Timur Tahun 2003, ini sudah 23 tahun yang lalu.
Perkara ini dimulai dari peristiwa hukum saat patok tanah itu baru dipasang oleh yg disebutkan saksi fakta dalam persidangan saksi bulan Juli tahun 2023, artinya surat tanah sudah terbit di 23 tahun yang lalu, barulah patok tanah dipasang pada saat peristiwa hukum yang saat ini dibawa ke persidangan yaitu tgl 20 juli 2023 , untuk terpenuhinya aspek formil yaitu Tempus Delicti & Locus delicti.
Saya masih sulit mencerna banyak hal yang ada dari setiap proses ini, sebab sesungguhnya Surat Tanah yang semestinya melegitimasi hak Pelapor dalam persoalan ini, juga yang sedang kita duga terdapat perbuatan melawan hukum, telah kita Laporkan dalam 2 Laporan kita pada Unit pidum satreskrim sejak Juli 2023 di Polresta Tanjungpinang dan saat ini masih terus berproses di penyidik dengan adanya info ke kami sebagai Pelapor yaitu SP2HP.
Menarik untuk kita cermati bersama sebagai wujud kontrol, dan secara pribadi saya akan jadikan putusan Hakim nantinya sebagai salah satu analisis, bahwa pasal 170 KUHPidana & 406 KUHPidana tidak bisa di tempatkan terpisah dari legitimasi kekuatan hak perdata, sebab ini menyangkut Objek pada wujud konkrit yaitu Tanah.
Lalu apa yang Bung, harapkan?
Oh ya satu hal lagi yang juga penting, bahwa ketika kita mencari informasi alat bukti atas SKT 267/G-I/2003 , yang adalah induk surat dari SKGR yg juga di duga di miliki dengan membeli oleh Pelapor, ternyata SKT: 267/G-1/2003 itu juga ternyata dalam Dokumen surat tanah itu diSebutkan adalah Pengganti SKT: 158/G-1/1979 yang juga Asli Suratnya masih ada di tangan Ahli waris Alm Junaidi yang juga di tahun 2015 telah menjadi perkara hukum dalam delik aduan.
Ada apa dengan pemerintah terutama Kelurahan Air Raja kecamatan Tanjungpinang Timur di tahun 2003 saat menerbitkan SKT: 267/G-2/2003 ?
Ada apa dengan semua peristiwa ini, mari kita lihat bersama dalam Sidang Putusan perkara ini di PN Tanjungpinang, besok hari Selasa 28 mei 2024. Kita hormati proses ini dengan tidak mengabaikan hak masyarakat kecil untuk bersuara. Kami adalah The voice of voiceless. (Red)