Home / Anambas / Bantuan SPP Pemprov Kepri Laksana Mendukung “Pungli”

Bantuan SPP Pemprov Kepri Laksana Mendukung “Pungli”

Opini : EDY MANTO ( Pemimpin Redaksi suarabirokrasi.com)

Pasca pemerintah mengeluarkan edaran penghentian kegiatan belajar mengajar secara langsung di sekolah untuk mencegah penyebaran corona virus, tetapi pihak sekolah tetap menuntut orang tua atau wali murid wajib membayar iuran bulanan berupa Sumbangan Pendanaan Pendidikan (SPP)

Kondisi ini mendulang protes wali.murid dengan berbagai alasan, mulai dari tidak adanya kegiatan belajar di sekolah, juga alasan ekonomi akibat pandemi covid-19.

Solusi dari kondisi ini, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Pemprov Kepri) membuat kebijakan menggunakan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) penanganan Covid-19 sebesar Rp.24,8 miliar untuk membantu pembayaran SPP siswa yang tidak mampu secara ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Bantuan sebesar Rp.250.000,-/2 bulan dialokasikan untuk 36.496 peserta didik di sekolah negeri dan swasta. Rinciannya, 19.694 peserta didik pada 134 SMA anggaran sebesar Rp. 4.805.830.000,-. Untuk 14.861 peserta didik pada 98 SMK dialokasikan anggaran sebesar Rp. 7. 131.416.000,-. Untuk 624 peserta didik pada 18 SLB dialokasikan anggaran sebesar Rp. 125.200.000,-. Dan untuk 1.317 peserta didik pada 33 MA dialokasikan anggaran sebesar Rp. 360.660.000,-.

Pelaksanaan program ini laksana dilandasi catatan kertas regulasi yang tersobek. Sehingga terdapat kontradiksi dengan dasar hukum kegiatan ini, dan menyebabkan penggunaan anggaran tidak dapat dipertanggung jawabkan secara riil penggunaannya.

Salah satunya landasan kegiatan bantuan SPP menggunakan dana penanganan Covid-19, yaitu Surat Kesepakatan Bersama (SKB) dua Menteri. Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri di dalam SKB menetapkan tata cara refocusing APBD dalam upaya penanganan dan pencegahan penyebaran corona virus. Salah satunya refocusing anggaran untuk Jaring Pengaman Sosial, yakni  untuk membantu masyarakat yang mengalami kemerosotan ekonomi dan kesulitan untuk mencukupi kebutuhan hidup akibat pandemi Covid-19.

Berdasarkan SKB di atas, sasaran penerima manfaat dari kegiatan JPS adalah masyarakat. Namun bila dana JPS dipergunakan untuk bantuan pembayaran SPP, penerima manfaat kegiatan ini adalah pihak sekolah dan penyaluran uang bantuan SPP langsung ke rekening sekolah. SPP memberikan manfaat bagi sekolah ini diatur pada Peraturan Pemerintah (PP) 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, yang menjelaskan iuran bulanan berupa SPP merupakan bentuk peran serta wali murid untuk ikut mendukung kegiatan dan pengembangan pendidikan di sekolah.

Sehingga patut dipertanyakan juga, apa bila sekolah tidak melaksanakan kegiatan belajar dan mengajar secara langsung, tentunya kebutuhan dana pengembangan pendidikan yang bersumber dari SPP tidak dibutuhkan, dan bagaimana untuk pertanggung jawaban penggunaan anggaran bantuan SPP tersebut?

Selain ditinjau dari manfaat dan ketidak jelasan pertanggung jawaban anggaran tersebut. Ditinjau dari landasan hukumnya, penarikan SPP dari siswa tidak mampu merupakan kegiatan yang dilarang. Istilahnya meski aturan menegaskan tidak boleh dipungut, tetapi pemerintah malah membantu praktek pungutan yang dilarang sehingga disinyalir Pemprov Kepri mendukung “Pungli”

Larangan ini mengacu pada PP 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan. Pada pasal 52 menjelaskan bahwa Pungutan oleh satuan pendidikan dalam rangka memenuhi tanggung jawab peserta didik, orang tua, dan/atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 51 ayat (4) huruf c, ayat (5) huruf c, dan ayat (6) huruf d wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut : (huruf e) tidak dipungut dari peserta didik atau orangtua/walinya yang tidak mampu secara ekonomis.

Nah tentunya permasalah SPP ini harus tetap diselesaikan oleh pemerintah agar tidak meresahkan masyarakat. Salah satu langkah bijak yang harus dilakukan Pemprov Kepri adalah secara tegas melaksanakan ketentuan PP 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, yakni membuat kebijakan pembebasan pembayaran SPP bagi peserta didik di SMA, SMK, SLB dan MA negeri dan swasta yang termasuk kategori tidak mampu.

Dan untuk mengantisipasi dampak kebijakan larangan pungutan SPP yang menyebabkan kurangnya anggaran sekolah untuk membiayai kebutuhan sekolah, maka harus ada langkah koordinasi antara pihak sekolah dengan Dinas Pendidikan, agar kebutuhan sekolah yang tidak ada anggarannya dapat diusulkan dan dimasukkan ke dalam kegiatan belanja APBD sesuai kebutuhan setiap sekolah dengan estimasi nilai yang sesuai dengan dampak dari kebijakan dan dapat dipertanggung jawabkan secara nyata.

Tinggalkan Balasan