Site icon Suara Birokrasi

LAMI Lingga Kritisi Integritas Kejari Lingga Terkait Korupsi Jembatan Marok Kecil

suarabirokrasi.com, Lingga – Integritas  Kejaksaan Negeri Lingga dalam hal penanganan tindak pidana korupsi dikritisi publik. Penetapan tersangka Korupsi Jembatan Marok Kecil, Laboh yang telah menghabiskan APBD Lingga tahun 2022, 2023 dan 2024 dengan total nilai sebesar Rp.7,8 miliar dinilai janggal dan terindikasi tebang pilih.

Penetapan direktur CV BS (YR) selaku konsultan pengawas sejak tahun 2022, 2023, 2024, dan Pelaksana Lapangan (DY) sebagai tersangka kasus Korupsi Jembatan Marok Kecil oleh Kejari Lingga, dinilai seperti menutup mata adanya peran para pihak lainnya untuk mendukung terjadinya praktek dugaan korupsi pada proyek Jembatan Marok Kecil ini.

Para pihak diantaranya, CV FJ selaku pemenang berkontrak di tahun 2022, 2023 dan CV AQJ Gemilang selaku perusahaan pemenang tender dan berkontrak tahun 2024, serta Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tidak ditetapkan sebagai tersangka.

Penilaian ini diungkapkan Ketua Dewan Pengurus Cabang (DPC) Lembaga Aspirasi Masyarakat Indonesia (LAMI) Kabupaten Lingga, Satriyadi menanggapi sorotan publik terkait lepasnya para pihak yang turut serta dan menikmati keuntungan dari terlaksananya proyek ini (Jembatan Marok Kecil).

“Sepanjang tahun 2022 sampai 2024, para pihak yang terkait secara legal administrasi dan memiliki pernyataan bertanggung jawab secara hukum adalah Pejabat Pembuat Komitmen, dan CV FJ di tahun 2022 dan 2023, juga CV AQ di tahun 2024″terang Satriyadi.

Menurut Satriyadi, para pihak tersebut bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan untuk melaksanakan kontrak baik mengerjakan sendiri atau oleh pihak lain, demikian juga Kabid Bina Marga, Jeki Amanda S.Tr selaku Kuasa Pengguna Anggaran bertanggung jawab mengontrol berlangsungnya pekerjaan sesuai kontrak.

“Pembayaran yang masuk ke rekening perusahaan merupakan bukti bahwa PPK atau KPA sesuai kewenangannya telah menilai adanya prestasi atas pekerjaan yang dilakukan kontraktor dan dibayarkan sesuai kesepakatan kontrak.”terang Satriyadi.

 

Lanjut Satriyadi menerangkan. Di dalam proses pembayaran, sebelum melakukan tindakan pengeluaran atas APBD, PPK atau KPA memiliki kewenangan melakukan pengecekan fisik dan administrasi.

 

“Jadi bila pembayaran dilakukan tanpa melakukan pengecekan, maka dapat dikatakan sebagai penyalahgunaan kewenangan. Demikian juga, bila mengetahui kondisi fisik tidak sesuai dengan yang dilaporkan, artinya ada unsur kesengajaan,”ungkap Satriyadi.

Lanjut Satriyadi menerangkan. Dalam kasus ini, Satriyadi menilai adanya indikasi pinjam pakai perusahaan yang diketahui oleh PPK, CV FJ dan CV AQJ. Sehingga Satriyadi menilai, peran DY selaku kontraktor lapangan didukung secara tidak langsung oleh para pihak yang terkait.

“Orang waras pasti tahu, kalau dia yang menang proyek tapi yang kerja orang lain, pastikan marah. Tapi kalau tidak marah, artinya bertanggung jawab secara tidak langsung memperkerjakan orang tersebut.”ujarnya, senin (15/09/2025).

Tambah Satriyadi. Di dalam dokumen kontrak tertulis ketentuan, pekerjaan yang di subkontrak ke pihak lain, harus dilaporkan ke PPK. Hal ini juga yang mendasari bahwa peran tersangka DY di lokasi, turut diketahui oleh PPK, CV FJ dan CV AQJ selaku kontraktor pemenang tender.

“Oleh itu, sesuai ketentuan undang – undang Tipikor secara jelas disebutkan bahwa setiap orang atau pegawai negeri yang menyalahgunakan kewenangannya. Maka para pihak ini juga harus ditetapkan sebagai tersangka”tegas Satriyadi.

“Kami minta, Kejari Lingga juga Kabid Bina Marga dan Direktur CV Firman Jaya dan Direktur CV AQJ Gemilang dipanggil dan ditetapkan status hukumnya di dalam kasus ini,”kembali Satriyadi menegaskan.

Sampai berita ini ditayangkan, pihak Kejari Lingga belum dikonfirmasi. Dan pihak CV AQJ, CV FJ dan Kabid Bina Marga PUTR Lingga belum dikonfirmasi.

Penulis: Edy Manto

Exit mobile version