suarabirokrasi.com, Tanjungpinang,- rencana pengelolaan KSP Gurindam yang akan dikelola pihak swasta (swastanisasi) yang saat ini sedang ditenderkan, memicu perhatian tokoh muda melayu Said Ahmad Syukri.
Dirinya menilai, KSP Gurindam tersebut dibangun menggunakan uang rakyat yang seharusnya manfaat dari pembangunan itu dapat dinikmati oleh masyarakat Kepulauan Riau, khususnya Kota Tanjungpinang.
Namun bila kawasan KSP Gurindam dikelola swasta, maka manfaat pembangunan dari APBD itu tidak dapat dinikmati oleh masyarakat, tetapi sebaliknya, menjadi lahan untuk memalak masyarakat dengan label pungutan pajak ataupun retribusi menggunakan tangan pihak ketiga.
Ketua Gerakan Anak Melayu Negeri Riau (GAMNR) Kota Tanjungpinang juga mengkritik rencana swastanisasi KSP Gurindam dari beberapa aspek lainnya.
Komersialisasi Aset Publik
Kawasan Gurindam 12 sejatinya dibangun sebagai ruang publik terbuka yang dibiayai APBD untuk kepentingan rakyat. Dengan skema KSP 30 tahun, aset publik ini berpotensi berubah fungsi menjadi area komersial yang lebih berpihak pada mitra usaha ketimbang masyarakat.
Alih fungsi ruang publik menjadi parkir berbayar dan kawasan kuliner berpotensi menyingkirkan hak warga menikmati ruang kota secara gratis.
Jangka Waktu yang Terlalu Panjang (30 Tahun)
Perjanjian selama 3 dekade berisiko “mengunci” aset daerah dalam kontrak jangka panjang yang bisa merugikan pemerintah kota/provinsi di masa depan.
Jika kontrak tidak menguntungkan, maka generasi berikutnya akan sulit melakukan evaluasi atau penyesuaian tanpa menanggung beban ganti rugi.
Potensi Monopoli Usaha Kuliner & Parkir
Skema tender berpotensi menghadirkan satu pihak dominan yang menguasai blok kuliner dan parkir.
Hal ini bisa menutup peluang UMKM lokal yang selama ini bergantung pada akses terbuka di kawasan wisata.
Harga sewa tenant kuliner maupun tarif parkir bisa ditentukan sepihak oleh mitra KSP, tanpa mekanisme pengawasan memadai.
Risiko Hilangnya Fungsi Sosial-Budaya
Gurindam 12 bukan sekadar infrastruktur fisik, melainkan simbol budaya Tanjungpinang. Jika orientasi pengelolaan lebih berat ke bisnis, nilai historis dan fungsinya sebagai ruang edukasi-budaya akan terpinggirkan.
Kawasan ini bisa berubah jadi pusat komersial biasa, bukan destinasi budaya yang menghidupkan identitas Melayu.
Keterbatasan Transparansi & Partisipasi Publik
Dari pengumuman, proses tender berlangsung sangat cepat (28 Agustus – 15 September 2025). Waktu singkat ini membuat partisipasi masyarakat maupun UMKM lokal sulit terakomodasi.
Belum terlihat adanya kajian dampak sosial-ekonomi (misalnya dampak pada pedagang kecil, nelayan sekitar, atau masyarakat pengguna ruang publik).
“Mana Wakil Rakyat Kepri Khusus Dapil Tg pinang .. Bakal Seperti Pasar Bincen..”tukas Sasjhoni, Kamis (28/08/2025).
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.